Abstrak
Makalah ini mencoba menyoroti kesiapan koperasi
sebagai pelaksana distribusi barang. Kegiatan usaha ini menjadi topik pembicaraan
sebab pemerintah Indonesia saat ini mengembangkan kebijakan yang tidak
lagi bertumpu pada pertumbuhan melainkan pada pemerataan usaha. Untuk mengkaji
kesiapan koperasi, makalah ini mencoba menampilkan permasalahan yang mungkin
dihadapi koperasi.
Dengan menggunakan analisis SWOT dipadu dengan
temuan di lapangan, bisa disimpulkan bahwa dalam jangka pendek penentuan
koperasi sebagai pelaksana distribusi barang perlu dipikirkan lebih mendalam.
Ini disebabkan kondisi koperasi sedang dalam kondisi yang tidak menguntungkan
untuk ekspansi usaha. Munculnya konflik misi dan tujuan organisasi bisa
menyebabkan ketidakberhasilan pendistribusian suatu barang. Untuk, jika
tetap diperlukan, koperasi sebagai pelaksana distribusi barang harus ditentukan
secara selektif dan cermat.
Tulisan ini disusun dalam rangka
NetSeminar yang diselenggarakan oleh Forum TI-ITS. Pada makalah ini, penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi kontribusi
pemikiran sehingga tersusunnya makalah ini. Secara khusus, penulis menyampaikan
penghargaan yang tinggi kepada Drs. Riasto Widiatmono, DEA yang telah memberi
masukan kepada penulis via internet secara pribadi.
1. Pendahuluan
Dalam sistem perekonomian Indonesia dikenal ada
tiga pilar utama yang menyangga perekonomian. Ketiga pilar itu adalah Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi.
Lihat Gambar 1.
Ketiga pilar ekonomi tersebut mempunyai peranan
yang masing-masing sangat spesifik sesuai dengan kapasitasnya. Sayangnya
dari ketiga pilar itu, koperasi, walau sering disebut sebagai soko guru
perekonomian, secara umum merupakan pilar ekonomi yang "jalannya paling
terseok" dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS. Lihat Gambar 2.
Sebagai soko guru perekonomian, ide dasar pembentukan koperasi sering dikaitkan dengan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Secara spesifik, pasal tersebut menyebutkan bahwa perekonomian disusun berdasarkan atas azas kekeluargaan. Kata azas kekeluargaan ini, walau bisa diperdebatkan, sering dikaitkan dengan koperasi sebab azas pelaksanaan usaha koperasi adalah juga kekeluargaan.
Untuk lebih menata organisasi koperasi, pemerintah Indonesia (Presiden dan DPR) akhirnya memunculkan Undang-Undang no. 12/ 1967 dan merevisinya dengan Undang-Undang no. 25 tahun 1992. Di banding undang-undang terdahulu, undang-undang perkoperasian yang lebih baru, walau lebih komprehensif, sebenarnya agak berbau "kapitalis". Ini disebabkan undang-undang yang baru itu sesungguhnya memberi peluang koperasi untuk bertindak sebagai a profit oriented business. Namun, pada makalah ini, karena keterbatasan yang ada, saya tidak akan mengulas secara mendalam peranan dan keterkaitan undang-undang tersebut terhadap kiprah koperasi secara praktis. Secara spesifik, dengan tidak mengurangi arti penting undang-undang itu, makalah ini sebenarnya ditujukan untuk memberi gambaran apakah koperasi siap berperan seandainya mendapat "tugas baru" sebagai pelaksana distribusi barang. Untuk itu, saya akan berusaha lebih banyak menyoroti kondisi riil koperasi yang terjadi di lapangan.
Agar tujuan penulisan tercapai, makalah ini dirancang
dalam enam sesi yang alur berpikirnya menggunakan mekanisme induktif dan
deduktif. Untuk itu, setelah pendahuluan pada sesi pertama ini, sesi kedua
akan mengulas secara khusus mengenai perkoperasian di Indonesia yang meliputi
makna koperasi dan absentee ownership pada koperasi. Pemahaman akan makna
koperasi ini penting agar memberi gambaran yang tepat mengenai bagaimana
seharusnya kita memandang koperasi dalam percaturan perekonomian di Indonesia.
Sedangkan sesi ketiga akan lebih banyak membahas mengenai saluran pemasaran
yang nantinya akan menjadi "tugas baru" koperasi. Sesi keempat akan mengetengahkan
secara sekilas kekuatan dan kelemahan koperasi pada umumnya. Sesi kelima
akan mencoba menganalisis peluang dan tantangan yang mungkin dimiliki koperasi.
Akhirnya, makalah ini diakhiri dengan penutup pada sesi keenam yang merupakan
intisari dari pembahasan koperasi sebagai pelaksana distribusi barang dan
saran yang mungkin diperlukan untuk pengembangan koperasi di masa mendatang.
2.Perkoperasian di Indonesia
2.1 Makna Koperasi
Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah
organisasi usaha tipikal yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi
dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar
abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong
kaum buruh dan petani yang menghadapi problema ekonomi dengan menggalang
kekuatan mereka sendiri. Kemudian di awal abad 20 inilah koperasi mulai
diperkenalkan di Indonesia. Dalam perkembangannya, ada banyak orang Indonesia
yang sesungguhnya cukup berjasa dan mempunyai andil besar dalam memperkenalkan
dan mengembangkan perkoperasian di Indonesia. Salah satu tokoh koperasi
yang paling terkenal adalah Bung Hatta yang kemudian tercatat sebagai Bapak
Koperasi Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, koperasi
di Indonesia mempunyai makna ganda yang sebenarnya bersifat "ambivalent".
Makna tersebut yakni koperasi sebagai badan usaha dan koperasi sebagai
jiwa dan semangat berusaha. Untuk pengertian yang pertama, koperasi sering
dilihat sebagai salah satu bentuk usaha yang bisa bergerak seperti bentuk
usaha lainnya yang dikenal di Indonesia seperti PT, CV, Firma, NV. Dalam
kerangka seperti inilah, koperasi sepertinya diperkenankan untuk meraih
profit sebesar-besarnya. Karena pengertian inilah, pusat-pusat koperasi
dan induk koperasi dibentuk dengan tujuan agar dapat memperkuat eksistensi
koperasi primer. Contohnya adalah dibentuknya PUSKUD (Pusat Koperasi Unit
Desa) dan INKUD (Induk Koperasi Unit Desa).
Sedangkan makna kedua koperasi adalah, sebagaimana
disebutkan di atas, jiwa dan semangat berkoperasi. Dalam konteks ini, usaha
yang dilakukan koperasi disusun berdasarkan atas azas kebersamaan. Karena
kebersamaannya ini, bentuk property ownership pada koperasi "konservatif"
sering tidak diwujudkan dalam bentuk kepemilikan saham melainkan dalam
wujud simpanan baik wajib maupun pokok dan sukarela, iuran, sumbangan dan
bentuk lainnya. Konsekuensi dari bentuk ownership seperti itu adalah sebutan
kepemilikannya bukan sebagai pemegang saham melainkan sebagai anggota.
Oleh karenanya, koperasi sering dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan para anggotanya (baca: kesejahteraan anggota).
Secara bisnis, sebenarnya makna ganda koperasi
ini cukup merepotkan. Karena koperasi diakui sebagai badan usaha, maka
kiprah usaha koperasi mestinya harus seperti badan usaha lainnya. Dalam
artian ini, sebagai sebuah badan usaha, koperasi mestinya mengejar profit
sebesar-besarnya dengan langkah-langkah dan perhitungan bisnis seperti
yang biasa dilakukan oleh perusahaan lainnya. Namun langkah bisnis ini
sering "bertabrakan" dengan keinginan anggotanya yakni menyejahterakan
anggota. Sehingga dalam konteks ini, penghitungan kelayakan usaha koperasi,
jika hanya mengandalkan aspek liquiditas, solvabilitas dan rentabilitas
usaha, menjadi tidak tepat. Dengan kata lain, seandainya sebuah koperasi
mempunyai, misalnya, Current Ratio= 200% yang secara bisnis umum berarti
cukup liquid, rasio keuangan ini jadi tidak banyak berarti jika koperasi
tidak mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Sehingga beberapa parameter
kelayakan usaha pada perusahaan menjadi tidak pas diterapkan pada koperasi.
Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau Departemen Koperasi dan Pembinaan
Pengusaha Kecil (DEPKOP&PPK) memiliki kriteria tersendiri dalam melakukan
evaluasi terhadap koperasi. Namun, kalau itu yang dilakukan, koperasi mestinya
jangan "dihadapkan langsung" dengan perusahaan swasta lainnya yang
secara teoritis menggunakan rasio keuangan sebagai salah satu tolok ukur
kesehatan bisnisnya. Sehingga dengan kata lain makna pertama dan kedua
koperasi seolah saling bertabrakan. Ibarat sopir mobil, makna pertama seolah
memberi legitimasi pengemudi untuk menginjak pedal gas terus, sementara
makna kedua justru minta pengemudi menginjak pedal rem.
2.2. Absentee Ownership
Ambilanvensi makna koperasi ini juga bisa dilihat
pada bagaimana anggota koperasi menunjuk/ memilih orang yang mengelola
koperasi (yang selanjutnya disebut badan pengawas, pengurus dan manajer).
Seperti banyak diketahui, dalam kegiatan sehari-hari, koperasi diawasi
oleh badan pengawas dan dikelola oleh pengurus yang kemudian mengangkat
manajer yang bertanggungjawab kepada pengurus. Secara teoritis, langkah
ini sebenarnya cukup baik sebab menciptakan mekanisme kontrol dan spesialisasi
usaha. Namun, langkah pendelegasian ini ternyata perlu dipertanyakan kredibilitasnya
sebab sepertinya menisbikan peranan anggota itu sendiri. Dalam konteks
ini sepertinya, "ownership" anggota sepenuhnya diserahkan kepada orang
lain, baik pengurus maupun manajer. Seolah-olah, perhatian (concern) anggota
hanya pada tercapainya tujuan koperasi saja yaitu peningkatan kesejahateraan
anggota. Bagaimana proses tercapainya kesejahteraan itu sepertinya anggota
tidak peduli, sepenuhnya diserahkan kepada pengelola. Jika demikian,
sepertinya terjadi sesuatu yang tidak "fair" dalam berorganisasi. Dalam
artian ini, karena peranan anggota dalam kegiatan usaha sehari-hari sangat
rendah, bahkan intensitas perhatian sering lebih kecil dari pengelola,
maka pembagian "reward", misalnya Sisa Hasil Usaha (SHU) mestinya harus
diberikan kepada mereka yang telah susah payah bekerja membangun usaha
koperasi. Secara ekonomi, Veblen menamakan kondisi ini sebagai absentee
ownership. Dalam konteks ini, pemegang saham (anggota; pen) karena peranannya
dalam memajukan usaha adalah sangat kecil, mestinya memperoleh reward yang
lebih kecil dari direksi perusahaan (pengelola koperasi; pen). Tujuannya
adalah untuk menciptakan social fairness position.
Reward bagi anggota mestinya tidak lagi berupa
pembagian SHU akhir tahun melainkan pembagian reward dalam bentuk lain
sesuai dengan kontribusinya pada koperasi, misalnya naiknya pamor koperasi
atau imbalan pada persentase tertentu (misalnya 2,5%) dari simpanan yang
dimilikinya.
Selain itu, dalam prakteknya, pendelegasian pengelolaan
koperasi itu ternyata juga membawa konflik yang sifatnya umum. Dalam hal
ini, saya menemukan bahwa terjadi posisi dilematis yang bersifat struktural
yang justru sering merugikan koperasi. Dilema itu sering terjadi antara
ketua pengurus dan manajer. Secara teoritis, ketua dan manajer koperasi
diharapkan bisa saling bekerjasama dan saling mengisi guna membangun koperasi.
Namun, secara praktek, justru posisi ketua dan manajer sering berseberangan.
Dalam artian, kalau ketuanya aktif, biasanya manajernya (maupun badan pengawasnya)
pasif. Kalau manajernya seorang yang mumpuni dalam berusaha, pengurusnya
umumnya terlalu pasif dan pasrah sehingga tindakan manajer tidak pernah
terkontrol dengan baik. Dalam konteks ini, kemungkinan terjadinya penyimpangan
kekuasaan (power misuse and abuse) oleh pengurus maupun manajer sangat
tinggi. Alasan spesialisasi kegiatan antara masing-masing pihak sepertinya
tidak jalan. Ini terjadi karena anggota secara konseptual memang telah
menyerahkan kelangsungan hidup koperasi sepenuhnya kepada pengelola koperasi.
Mekanisme kontrol anggota sangat lemah karena terjadi absentee ownership.
Kondisi inilah yang sepertinya akan menghambat kelangsungan hidup perkoperasian
di Indonesia.
Melihat analisis di atas, keputusan memilih
koperasi sebagai penentu distribusi suatu barang sepertinya akan mendapat
ganjalan yang cukup berarti. Namun, dengan asumsi bahwa kasus di atas bisa
direduksi dan terlepas dari berpengalaman tidaknya pengelola koperasi,
maka pemilihan koperasi sebagai pelaksana distribusi bisa menjadi alternatif
dalam proses pemasaran suatu produk. Meskipun demikian pemilihan koperasi
sebagai pelaksana distribusi merupakan keputusan yang sifatnya sangat eksperimental
karena usaha distribusi barang umumnya merupakan kegiatan usaha yang relatif
baru yang dilakukan koperasi.
3. Saluran Pemasaran
Dalam pemasaran, proses pemilihan saluran
pemasaran sangat menentukan berhasil tidaknya suatu produk diterima oleh
pasar. Secara bisnis, karakteristik produk, faktor biaya distribusi dan
geografis pasar sangat mempengaruhi pemilihan jenis dan panjangnya saluran
distribusi. Namun, satu hal yang perlu dipikirkan dalam membangun saluran
pemasaran adalah kesamaan misi dan visi antara upliner dan downliner. Contohnya,
seorang produsen mobil tentunya akan memilih intermediary (perantara) yang
sama dengan misi dan visi yang diembannya. Untuk ini produsen mobil itu
akan mengajukan syarat tertentu kepada intermediarynya agar posisi produk
mobilnya tetap terjaga dan sesuai dengan rencana perusahaan. Selain itu,
faktor loyalitas dan moralitas intermediary umumnya juga menjadi penilaian
tersendiri bagi produsen dalam memilih sosok intermediarynya. Sehingga
bisa dikatakan bahwa proses pemilihan saluran pemasaran tidak cukup sederhana
bahkan cenderung rumit dan "berbelit".
Dalam pemasaran, tipe saluran pemasaran
sangat bergantung klasifikasi produk yang ditawarkan produsen. Dalam konteks
inilah, manakala panitia meminta saya untuk menulis "Koperasi sebagai Pelaksana
Distribusi Barang", saya secara pribadi sempat bertanya-tanya. Barang yang
mana? Untuk seluruh barang, kata panitia. Saya pikir, secara pemasaran
hal ini sangat sulit diterima sebab keberhasilan distribusi suatu produk
sering tidak bisa digeneralisasikan untuk produk lainnya. Bahkan untuk
produk yang jenisnya samapun, penataan saluran distribusinya bisa pula
berbeda. Apalagi produk yang klasifikasinya jelas berbeda, kemungkinan
kesamaan penataan saluran distribusinya jelas sangat kecil. Jadi klasifikasi
produk (istilah panitia barang; pen) perlu diluruskan dulu sebelum membahas
secara detail tentang pelaksanaan distribusinya.
Contoh produsen sabun tentunya sangat berbeda
dalam memasarkan produknya dibandingkan dengan produsen rumah (realtor).
Seorang produsen sabun tentunya dalam memasarkan produknya tentunya memerlukan
intermediary baik wholesaler maupun retailer. Sedangkan produsen rumah
tentunya tidak memerlukan wholesaler maupun retailer sebab karakteristik
produknya berbeda. Secara umum, sabun adalah termasuk barang mudah cari
(convenience goods) dan mudah dibawa-bawa (portable). Sedangkan rumah jelas
berbeda dengan sabun. Melihat contoh itu, mestinya judul tulisan di atas
perlu diganti bahkan kalau perlu diarahkan pada produk yang lebih spesifik,
misalnya sabun atau kalau merujuk pada masalah yang lagi trend, sembako.
Akan tetapi, walau klasifikasi produk mempengaruhi distribusi barang, dalam
pemasaran bisa diinduksi bahwa setiap produsen memerlukan mekanisme tertentu
untuk menyalurkan produknya kepada prospek.
Secara garis besar, ada dua jenis saluran pemasaran
yang biasa dilakukan dalam praktek bisnis sehari-hari yaitu saluran pemasaran
tidak langsung (indirect distribution) dan saluran pemasaran langsung (direct
distribution) yang nampak pada gambar 3 . Sebagai contoh produk sabun dan
rumah. Produsen rumah tentunya akan lebih memilih direct distribution daripada
indirect distribution sebab selain rumah itu tidak portable juga pasar
rumah tentunya lebih tersegmentatif secara geografis dan tidak menyebar.
Sedangkan produsen sabun tentunya akan memilih indirect distribution sebab
pasarnya sangat luas.
Melihat pembahasan tersebut, seandainya
koperasi ditunjuk sebagai pelaksana distribusi barang berarti menempatkan
koperasi sebagai indirect distribution unit. Permasalahannya sekarang adalah
siapkah koperasi melakukan mekanisme itu? Dengan asumsi bahwa permasalahan
konseptual koperasi bisa direduksi, pengkajiaan koperasi sebagai pelaksana
distribusi barang bisa dimulai dengan membuat gambaran struktural dan misi
internal koperasi itu sendiri. Dalam kaitan ini kemampuan dan kompetensi
koperasi dapat menjadi salah satu tonggak berpikir untuk membangun usaha
distribusi.
4. Koperasi: Keunggulan dan Kelemahan
Keberhasilan usaha koperasi biasanya bergantung
pada program pemerintah maupun keinginan pemenuhan kebutuhan anggota. Dalam
hal ini, keberhasilan koperasi bergantung pada program pemerintah karena
koperasi sering dijadikan "kepanjangan" tangan pemerintah dalam mengatur
sendi perekonomian. Dalam konteks lain seringkali koperasi dipakai sebagai
alat pemenuhan kebutuhan anggota yang biasanya juga berkaitan dengan program
yang telah dicanangkan pemerintah. Misalnya KUD. Dalam praktek, KUD sering
kali merupakan institusi yang menyediakan faktor produksi bagi petani yang
kuantitas dan kualitas faktor produksinya sangat bergantung pada program
pemerintah.
Untuk lebih jelasnya tabel 1 berikut menyajikan
jenis usaha yang sering menjadi andalan koperasi. Dalam konteks ini contoh
koperasi yang diambil adalah KUD dan KOPPAS (Koperasi Pasar).
Tabel 1: Beberapa Usaha Andalan Koperasi
NO. JENIS USAHA JENIS KOPERASI
1. Susu KUD
2. Kredit Usaha Tani KUD
3. Penggilingan Padi KUD
4. Pengadaan Pupuk dan Obat KUD
5. Simpan Pinjam KUD, Koppas
6. Pertokoan KUD
7. Jasa Tagihan Listrik/ Air KUD, Koppas
8. Tebu Rakyat Intensifikasi KUD
Sumber: Hasil Analisis
Dari tabel 1 sebenarnya nampak bahwa program
pemerintah sangat mendominasi keberhasilan KUD dalam mengembangkan usahanya.
Selain itu, KUD terlihat sangat berkaitan dengan kepentingan anggota, dalam
hal ini petani. Dengan kata lain, KUD merupakan sebuah lembaga usaha yang
menggarap sektor hulu. Oleh karenanya, seandainya KUD akan dijadikan sebagai
pelaksana distribusi barang, maka penyebaran barang itu lebih baik diupayakan
untuk masyarakat desa (petani/ nelayan).
Permasalahannya adalah jika kebutuhan akan suatu
barang ternyata juga berada diluar jangkauan wilayah KUD. Sehingga, distribusi
barang harus juga melibatkan lembaga usaha lain yang tentunya punya wilayah
kerja yang memadai.
Dalam praktek sehari-hari, ada yang berpendapat
bahwa Koppas bisa dipilih menjadi salah satu penyalur barang yang saat
ini sangat dibutuhkan masyarakat yakni sembako. Keunggulan Koppas sebagi
penyalur sembako adalah tipe anggotanya yang pedagang pasar terutama sembako.
Jelas tipe anggota seperti ini semestinya mempermudah penyaluran sembako
sebab anggota koperasi itu sudah cukup berpengalaman dalam menangani perdagangan
sembako.
Namun, permasalahan kemudian muncul berkaitan
dengan profesionalitas Koppas. Hal ini disebabkan berdasarkan temuan di
lapangan kebanyakan anggota Koppas adalah pedagang pasar yang kelasnya
"gurem". Sedangkan pedagang pasar yang kelasnya lebih besar sering tidak
menjadi anggota Koppas. Dalam konteks inilah tidak begitu mengherankan
jika usaha andalan utama Koppas adalah Simpan Pinjam. Karena keterbatasan
ini, mekanisme distribusi barang yang dikelola Koppas dikhawatirkan akan
memunculkan masalah krusial di pasar sebab bagaimanapun anggota Koppas
yang modalnya kecil akan berhadapan langsung dengan anggota non Koppas
yang bermodal lebih besar. Jika anggota non Koppas tidak diajak serta menangani
distribusi barang sejenis maka ketidakberhasilan distribusi barang melalui
koperasi akan menjadi suatu yang niscaya.
Secara struktural, rantai distribusi barang bila
menggunakan koperasi bisa menjadi cukup panjang. Ini disebabkan dengan
keterlibatan pusat/ induk koperasi yang juga ingin mengatur anggotanya
yang lingkupnya berada di bawah kendalinya. Misalnya dalam mekanisme pendistribusian
sembako melalui koperasi. Di sini pihak Puskoppas akan terlibat dalam membagikan
"jatah" sembakonya kepada koppas-koppas yang ada di wilayahnya. Koppas
kemudian membagikan jatahnya kepada para pedagang pasar yang menjadi wilayah
kerjanya. Saluran distribusi ini sebenarnya normal-normal saja. Bahkan
prosedur yang dilakukan sudah benar. Akan tetapi, dalam situasi saat ini
prosedur seperti itu selain menambah biaya juga memberi angin munculnya
penyelewengan. Jika pemerintah berkeinginan untuk menekan harga sembako
sesuai dengan yang diharapkan, maka panjangnya rantai distribusi ini harus
dipotong.
Permasalahan baru kemudian muncul yakni tidak
tersedianya tempat penimbunan barang dan dana yang cukup yang dimiliki
oleh Koppas. Jika dibiarkan, ini tentunya akan memberi peluang spekulan
untuk beraksi. Untuk mengantisipasi ini, teknik selling out pricing saja
kurang kuat. Langkah ini harus dibarengi dengan strategi aliansi (alliances
strategy) antara Koppas dan para pengusaha lokal setempat yang bermodal
cukup besar. Jika ini dilakukan, penataan distribusi barang diharapkan
tidak banyak diganggu oleh ulah spekulan.
Permasalahan lain berkaitan dengan penunjukan
koperasi sebagai distribusi barang juga semakin merebak manakala ada konflik
misi. Salah contoh menrik dalam hal ini adalah proses distribusi sembako
yang ditangani Koppas. Jika misi pemerintah dalam pendistribusian sembako
adalah penyediaan sembako murah sebanyak-banyak di pasar, hal ini akan
sulit terwujud sebab, terlepas dari kesulitan dana yang dimiliki Koppas,
dengan asumsi anggota Koppas mampu menyerap seluruh barang yang disediakan,
tentunya anggota Koppas ingin memiliki barang itu sebanyaknya-banyaknya
dan menjual kembali setingi-tingginya agar anggota makin sejahtera. Tindakan
anggota ini sulit dicegah pengelola Koppas sebab secara organisasi pengelola
Koppas (baca: pengelola koperasi) tentunya harus tunduk kepada keinginan
anggota bukan keinginan lembaga lain. Jika kemudian ada lembaga lain memaksa
Koppas untuk menuruti kemauannya secara organisasi akan memunculkan konflik
misi dan tujuan organisasi. Ini saya pikir faktor urgensi yang perlu segera
dituntaskan.
Melihat keterbatasan tersebut, secara induktif
bisa dikatakan bahwa keputusan untuk menjadikan koperasi sebagai pelaksana
distribusi ternyata mempunyai resiko yang cukup tinggi. Untuk itulah pengkajian
faktor internal dan eksternal koperasi harus benar-benar dilakukan dengan
cermat.
Untuk melihat kemampuan koperasi sebagai
unit perantara, langkah efektif yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan
analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat). Tujuan dilakukan
analisis SWOT ini, walau ada sunsur subyektifitas, adalah untuk melakukan
diagnose usaha sehingga bisa dilakukan prognosa yang tepat terhadap usaha
yang dilakukan. Langkah awal yang bisa dikembangkan adalah menginventarisasi
faktor internal yang ada pada koperasi. Keberadaan faktor internal inilah
yang akan menggambarkan bagaimana kondisi riil koperasi dalam mengembangkan
sayap usahanya. Untuk mencapai maksud tersebut tabel 1 memperlihatkan contoh
inventarisasi faktor internal koperasi yang berlaku secara umum.
Dengan menggunakan analisis SWOT yang telah dimodifikasi
itulah akhirnya bisa dirumuskan faktor kunci sukses yang mungkin dimiliki
koperasi. Faktor kunci sukses ini penting sekali sebab akan memberi
informasi bagaimana sebenarnya profil keunggulan bersaing (Competitive
Advantage Profile) yang dipunyai suatu unit usaha (Widiyanto, 1997).
Tabel 2: Inventarisasi Faktor Internal
NO. ITEMS SIGN
1. Captive Market +
2. Loyalitas +
3. Mentalitas o
4. Legalitas +
5. Personalia -
6. Dominasi Kekuasaan -
7. Konflik Misi -
8. Rantai Distribusi -
9. Administrasi -
Sumber: Hasil Analisis
Catatan: + : Kekuatan; - : kelemahan; o : netral
Dengan melakukan teknik perhitungan SWOT yang lebih lanjut, akhirnya bisa dikembangkan dan digambarkan profil keunggulan bersaing koperasi. Profil ini penting sebab diharapkan mampu memberi gambaran rasional tentang keunggulan dan kelemahan koperasi dibandingkan unit usaha lain. Sayangnya tidak banyak koperasi yang memiliki profil keunggulan bersaing seperti yang disajikan pada gambar 4. Secara umum, sebenarnya penulis menemukan bahwa posisi bisnis koperasi cenderung pada posisi Tenable ke Weak (Widiyanto, 1996)
5. Koperasi: Peluang dan Tantangan
Langkah selanjutnya dalam menganalisis
SWOT adalah menginventarisasi faktor eksternal. Saat ini, peluang koperasi
untuk mengembangkan sayap usahanya terbuka lebar sebab pemerintah sangat
berpihak pada ekonomi kerakyatan yang melibatkan koperasi dan pengusaha
kecil. Namun, demikian tantangan yang dihadapinya juga semakin kompleks.
Tantangan itu berupa ketatnya persaingan pada bisnis mendatang karena selain
diperlukan modal yang tidak sedikit langkah pengembangan sayap itu akan
menghadapkan langsung koperasi pada pelaku bisnis swasta yang telah mapan
dan lebih berpengalaman.
Sementara itu, dalam situasi krisis seperti
ini, seandainya koperasi benar-benar dijadikan satu-satunya unit perantara
barang terutama sembako, langkah ini justru, menurut hemat penulis, akan
semakin merunyamkan distribusi sembako. Ini disebabkan akan terjadi suasana
"tarik urat" antar sesama pelaku bisnis. Oleh karenany, langkah pendistribusian
sembako harus juga disertai dengan merangkul (melibatkan) unit usaha lainnya.
Tujuannya adalah agar suasana competing heads on tidak terjadi sehingga
penataan distribusi barang bisa dilakukan dengan cermat dan baik.
Tantangan lain yang akan sangat menentukan
kelangsungan hidup koperasi adalah dengan akan diundangkankannya peraturan
tentang persaingan sehat di Indonesia. Kalau ini jadi diundangkan, maka
koperasi harus segera menata kembali semua usaha andalan yang dimilikinya.
Penataan kembali ini diperlukan sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa
usaha andalan koperasi bisa survive karena menikmati monopoli. Dalam konteks
ini, kelangsungan usaha koperasi benar-benar dipertaruhkan. Oleh karenanya,
profesionalisme pengelola dan manajemen koperasi perlu segera dioptimalkan
agar bisa survive.
Secara umum, kebanyakan koperasi sebenarnya
berada dalam posisi usaha spekulatif yakni koperasi memiliki peluang dan
tantangan yang tinggi.
Berdasarkan pembahasan singkat di atas
dan temuan di lapangan dan menggunakan matriks 16 sel, strategi yang semestinya
dilakukan koperasi secara umum adalah strategi defensif (bertahan). Dengan
penentuan strategi bertahan ini, keputusan pemerintah untuk menunjukkan
koperasi sebagai pelaksana distribusi barang, yang nota bene merupakan
kegiatan usaha relatif baru, perlu dikaji kembali.
Secara khusus, hanya koperasi tertentu saja yang
diharapkan mampu melakukan kegiatan usaha distribusi tersebut dalam jangka
pendek ini. Koperasi ini adalah koperasi yang terbukti benar-benar sehat
dan berpengalaman bisnis mandiri. Dengan kata lain, tidak semua KUD mandiri
bisa menjadi pelaksana distribusi barang.
6. Penutup
6.1. Kesimpulan
Koperasi yang dikenal sebagai soko guru
perekonomian memiliki situasi yang dilematis. Sebagai badan usaha, koperasi
mempunyai pesaing yang relatif lebih cepat geraknya. Sementara itu, gerak
koperasi terkadang terhambat dengan munculnya persoalan pengawasan yang
lemah. Persoalan yang sering muncul dari koperasi adalah tidak terciptanya
social fairness position antara anggota dan pengelola koperasi. Persoalan
ini jika tidak segera dipecahkan secara struktural akan melemahkan kehidupan
koperasi.
Dengan menggunakan analisis SWOT, pengembangan
usaha koperasi sebagai pelaksana distribusi barang perlu dikaji kembali.
Ini didasarkan pada kondisi riil koperasi yang sering pada posisi yang
kurang menguntungkan untuk melakukan ekspansi usaha. Selain itu, cara pandang
berkoperasi perlu segera diperbaiki guna menghadapi persaingan di masa
mendatang.
Akhirnya, dalam proses distribusi barang
yang tidak kalah pentingnya adalah mentalitas dari pelaku bisnis. Rendahnya
mentalitas pelaku bisnis akan sangat menyulitkan kesuksesan pendistribusian
barang. Mentalitas pelaku bisnis akan semakin merusak sistem jika para
pelaku bisnis melakukan tindakan kolusif alias "gotong royong".
6.2 Saran
Untuk perbaikan koperasi di masa mendatang,
berikut ini disajikan beberapa saran yang mungkin diperlukan bagi pengembangan
koperasi. Saran-saran tersebut:
Ø Secara praktis, sikap profesional pengurus
dan manajer terhadap penguasaan manajemen usaha dan teknik berkoperasi
perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Tidak bisa dipungkiri jika keinginana
untuk berkembang pada sebagian pengurus maupun manajer sangat rendah. Bahkan
pengurus maupun manajer sering memandang ringan pendidikan/ training manajemen
atau perkoperasian yang diberikan oleh berbagai lembaga konsultasi bisnis
maupun pihak departemen koperasi sendiri yang tujuannya justru untuk menambah
ketrampilan manajemen maupun berwiraswasta. Dalam suatu proses pendidikan/
training manajemen terhadap pengurus maupun manajer koperasi sering dijumpai
"manajer bagian kursus" yakni orang yang dikirim oleh pengurus maupun manajer
khusus untuk mengikuti kursus atau training tersebut. Sayangnya, ilmu yang
diperoleh oleh "manajer bagian kursus" itu sangat jarang untuk ditularkan
apalagi diterapkan pada unit koperasi yang bersangkutan padahal kinerja
koperasi tersebut biasanya kurang baik. Untuk itu, sikap profesional pengurus
maupun manajer perlu diubah seiring dengan semakin tingginya tuntutan dunia
usaha.
Ø Tingkat pendidikan anggota perlu juga
diperbaiki. Secara umum, rendahnya tingkat pendidikan anggota akan menyebabkan
dominasi kekuasaan oleh sementara orang yang mengelola koperasi. Bila ini
tidak dilakukan, proses perekayasaan keputusan melalui forum rapat anggota
akan sulit dihindari. Sehingga hasil keputusan rapat anggotanya cenderung
tidak menguntungkan kelangsungan hidup koperas itu sendiri.
Ø Fasilitas monopoli yang dimiliki koperasi
saat ini perlu mulai dihilangkan. Langkah ini diperlukan untuk menyesuaikan
dengan undang-undang persaingan sehat yang akan diintroduksi pemerintah
dalam waktu dekat.
Ø Peranan departemen koperasi dan pembinaan
pengusaha kecil sebagai instansi yang membina koperasi sebaiknya mulai
dikurangi. Dengan konsep Social Darwinism, koperasi dibiarkan untuk melakukan
restrukturisasi dan rerasionalisasi usahanya. Langkah ini diperlukan sebab
pemberian paket program pemerintah kepada koperasi justru sering terbukti
tidak mampu meningkatkan kinerja usaha. Bahkan ada sebagian koperasi justru
merasa tertekan dengan program yang dicanangkan pemerintah. Contohnya penyaluran
Urea Tablet yang akhirnya malah menyebabkan produksi padi di berbagai tempat
menurun.
Ø Keberpihakan pemerintah kepada koperasi
dan pembinaan pengusaha kecil sebaiknya tidak terus mematikan pengusaha
yang sudah terlanjur besar sebab bagaimanapun pengusaha besar tetap diperlukan
untuk mengejar pertumbuhan serta ketertinggalan ekonomi. Hanya saja dominasi
kekuatan pasar sekarang perlu ditata kembali secara "fair".
Referensi:
David, Fred R (1992), Management Strategy, (New York: Richard D. Irwin)
Porter, Michael (1980), Competitive Advantage:
Technique for Analyzing Industry,
(New York: Free Press)
Veblen, Theory of Entrepreuner, (Princeton: Princeton University)
Widiyanto (1996), Profil Keunggulan Bersaing KUD
Jatinom,
(Semarang:BPMA-Undip)
--------- (1997), Persaingan Strategik: Analisis dan Implikasi SWOT, (Jakarta: CAUS)
---------(1997), Analisis Pemasaran, (Jakarta: CAUS)
William, Shepherd G. (1991), Public Policies Toward
Business,
(New York: Richard D. Irwin)
---------(1997), The Economics of Industrial Organization,
(Upper Saddle River: Mc.Graw Hill)
Berbagai tulisan tentang koperasi dan bisnis lainnya
****
©1998, copy rights ada pada penulis. Halifax-
Kanada, 31 Agustus 1998.
Silakan diperbanyak, dikutip dan digandakan
asal menyebutkan sumbernya.